Kamis, 26 Januari 2012

filsafat sokrates


      I.          PENDAHULUAN
  Zaman klasik bermula dengan sokrates. Tetapi sokrates belum sampai kepada suatu sistem filosofi, yang memberikan nama klasik kepada suatu system filosofi, yang memberikan nama klasik kepada filosofi itu. Ia baru membuka jalan. Karena dialah  tercapai apa yang dimuat sebagai moto pada permulaan buku “ALAM PIKIRAN YUNANI, oleh Mohammad Hatta”. Alam yang tak bertubuh diketahuilah sudah, dan mata pikiran memandanglah ke dalam. Sokrates baru mencari kebenaran; ia belum sampai menegakkan suatu sistem pandangan. Tujuannya terbatas hingga mencari dasar yang baru dan kuat bagi kebenaran dan moral.[1]
    II.          PEMBAHASAN
A.    Biografi
Sokrates lahir di Atena pada tahun 470 s.M dan meninggal pada tahun 399 s.M. Ayahnya adalah tukang pembuat patung, ibunya bidan. Pada permulaannya Sokrates mau menuruti jejak bapaknya, menjadi tukang pembuat patung pula. Tetapi akhirnya ia berganti haluan. Dari membentuk batu jadi patung ia membentuk watak manusia.[2]
Sokrates mempunyai kekurangan pada ketampanan dan perawakan yang kurang tetapi diliputi oleh kelebihan budinya : Jujur, adil dan baik.[3]
Sokrates mengajar di Athena. Seorang muridnya ialah plato yang mencatat isi kuliah-kuliah sokrates dalam dialog-dialog, karena dalam bentuk itu sokrates suka mengajak murid-muridnya mencari kebenaran. Asal sang guru dengan cukup sabar dan terarah mangajukan pertanyaan-pertanyaan maka si murid dapat melahirkan jawaban yang tepat (karena menurut plato ia lalu teringat akan kebenaran yang dulu, sebelum lahir di dunia ini, pernah dipandangnya di dunia idea). Kebenaran dan kebaikan merupakan dua nilai yayng secara mutlak harus kita cari dan wujudkan dan inilah memberikan kebahagiaan sejati (eudaimonisme). Berbuat jahat disebabkan karena pengetahuan yang sesat. Karena sokrates melawan relativisme kaum sophistic dengan pendapatnya mengenai kebenaran dan kebaikan yang tunggal dan mutlak, maka ia dimusuhi. Akhirnya ia dituduh mengenai atheism dan sebagai guru yang menyesatkan murid-murid, lalu dijatuhi hukuman mati dengan minum racun.[4]
Socrates pada akhirnya wafat pada usia tujuh puluh tahun dengan cara meminum racun sebagaimana keputusan yang diterimanya dari pengadilan dengan hasil voting 280 mendukung hukuman mati dan 220 menolaknya.[5]
B.    Jalan Pemikiran Sokrates
Ajaran bahwa semua kebenaran itu relatif telah menggoyahkan teori – teori sains yang telah mapan, mengguncangkan keyakinan agama. Ini menyebabkan kebingungan dan kekacauan dalam kehidupan. Inilah sebabnya Socrates harus bangkit. Ia harus meyakinkan orang Athena bahwa tidak semua kebenaran itu relatif, ada kebenaran umum yang dapat dipegang oleh semua orang. Sebagaian kebenaran memang relatif, tetapi tidak semuanya. Sayangnya, Socrates tidak meninggalkan tulisan. Ajarannya kita peroleh dari tulian murid – muridnya terutama Plato.
Bartens menjelaskan ajaran Socrates sebagai berikut ini. Ajaran itu dutujukan untuk menentang ajaran relativisme sofis. Ia ingin menegakkan sains dan agama. Kalau dipandang sepintas lalu, Socrates tidaklah banyak berbeda dengan orang – orang sofis. Sama dengan orang sofis, Socrates memulai filsafatnya dengan bertolak dari pengalaman sehari – hari. Akan tetapi, ada perbedaan yang amat penting antara orang sofis dan Socrates. Socrates tidak menyetujui kaum sofis.
Menurut pendapat Socrates ada kebenaran obyektif, yang tidak bergantung pada saya atau pada kita. Ini memang pusat permasalahan yang dihadapi oleh Socrates. Untuk membuktikan adanya kebenaran obyektif, Socrates menggunakan metode tertentu. Metode itu bersifat praktis dan dijalankan melalui percakapan – percakapan. Ia menganalisis pendapat – pendapat. Setiap orang mempunyai pendapat mengenai salah dan tidak salah, misalnya ia bertanya kepada negarawan, hakim, tukang, pedagang, dsb. Menurut Xenophon, ia bertanya tentang salah dan tidak salah, adil dan tidak adil, berani dan pengecut dll. Socrates selalu menganggap jawaban pertama sebagai hipotesis, dan dengan jawaban – jawaban lebih lanjut dan menarik kensekuensi – konsekuensi yang dapat disimpulkan dari jawaban – jawaban tersebut. Jika ternyata hipotesis pertama tidak dapat dipertahankan, karena menghasilkan konsekuensi yang mustahil, maka hipotesis itu diganti dengan hipotesis lain, lalu hipotesis kedua ini diselidiki dengan jawaban – jawaban lain, dan begitulah seterusnya. Sering terjadi percakapan itu berakhir dengan aporia ( kebingungan ). Akan tetapi, tidak jarang dialog itu menghasilkan suatu definisi yang dianggap berguna. Metode yang biasa digunakan Socrates biasanya disebut dialektika yang berarti bercakap – cakap atau berdialog. Metode Socrates dinamakan diaelektika karena dialog mempunyai peranan penting didalamnya.
Bagi kita yang sudah biasa membentuk dan menggunakan definisi barang kali merasakan definisi itu bukan sesuatu yang amat penting, jadi bukan suatu penenmuan yang berharga. Akan tetapi, bagi Socrates pada waktu itu penemuan definisi bukanlah hal yang kecil maknanya, penemuan inilah yang akan dihantamkannya kepada relatifisme kaum sofis.
Orang sofis beranggapan bahwa semua pengetahuan adalah relatif kebenarannya, tidak ada pengetahuan yang bersifat umum. Dengan definisi itu Socrates dapat membuktikan kepada orang sofis bahwa pengatahuan yang umum ada, yaitu definisi itu. Jadi, orang sofis tidak seluruhnya benar, yang benar ialah sebagian pengetahuan bersifat umum dan sebagian bersifat khusus, yang khusus itulah pengetahuan yang kebenaranya relatif. Misalnya contoh ini :
Apakah kursi itu ? kita periksa seluruh, kalau bisa seluruh kursi yang ada didunia ini. Kita menemukan kursi hakim ada tempat duduk dan sandaran, kakinya empat, dari bahan jati. Lihat kursi malas, ada tempat duduk dan sandaran, kakinya dua, dari besi anti karat begitulah seterusnya. Jadi kita ambil kesimpulan bahwa setiap kursi itu selalu ada tempat duduk dan sandaran. Kedua ciri ini terdapat pada semua kursi. Sedangkan cirri yang lain tidak dimilki semua kursi. Maka, semua orang akan sepakat bahwa kursi adalah tempat duduk yang bersandaran. Berarti ini merupakan kebenaran obyektif – umum, tidak subyektif – relative. Tentang jumlah kaki, bahan, dsb. Merupakan kebenaran yang relatif. Jadi, memang ada pengetahuan yang umum, itulah definisi.
Dengan mengajukan definisi itu Socrates telah dapat “ menghentikan ” laju dominasi relatifisme kaum sofis. Jadi, kita bukan hidup tanpa pegangan, kebenaran sains dan agama dapat dipegang bersama sebagainya, diperselisihkan sebagainya. Dan orang Athena mulai kembali memegang kaidah sains dan kaidah agama mereka.
Socrates mengatakan kebenaran umum itu memang ada. Ia bukan dicari dengan induksi seperti pada Socrates, melainkan telah ada “ disana ” dialam idea. Kubu Socrates semakin kuat, orang sofis sudah semakin kehabisan pengikut. Ajaran behwa kebenaran itu relatif semakin ditinggalkan, semakin tidak laku, orang sofis kalap, lalu menuduh Socrates merusak mental pemuda dan menolak Tuhan – Tuhan. Socrates diadili oleh hakim Athena. Ia dijatuhi hukuman mati. Seandainya Socrates memilih hukuman dibuang keluar kota, tentu hukuman itu diterima oleh hakim tersebut, tetapi Socrates tidak mau meninggalkan kota asalnya. Socrates menawarkan hukuman denda 30 mina ( mata uang Athena waktu itu ). Pilihan itu ditolak oleh para hakim karena dianggap terlalu kecil, terutama Socrates didalam pembelaannya dirasakan menghina hakim – hakimnya. Biasanya hukuman mati dirasakan dalam tenggang waktu 12 jam dari saat diputuskannya hukuman itu akan tetapi, pada waktu itu ada satu perahu layar Athena yang keramat sedang melakukan perjalanan tahunan kekuil dipulau Delos, dan menurut hukum Athena hukuman mati baru boleh dijalankan bila perahu itu sudah kembali oleh karena itu, satu bulan lamanya Socrates tinggal didalam penjara sambil bercakap – cakap dengan para sahabatnya. Salah seorang diantara mereka yaitu Kriton, mengusulkan supaya Socrates melarikan diri, tetapi Socrates menolak. Dan pada waktu senja dengan tenang Socrates meminum racun, dikelilingi oleh para sahabatnya. Sekalipun Socrates mati, ajarannya tersebar justru dengan cepat karena kematiannya itu. Orang mulai mempercayai adanya kebenaran umum.
Kosepnya tentang roh, terkenal tidak tentu ( indeterminate ) dan berpandangan terbuka ( openminded ), jelas – jelas tidak agamis dan terlihat tidak mengandalkan doktrin – doktrin metafisik atau teologis. Juga tidak melibatkan komitmen – komitmen naturalistik atau fisik apapun, seperti pandangan tradisional bahwa roh adalah “ nafas ” yang menghidupkan. Sebenarnya juga tidak jelas bahwa ia sedang mencari kesepakatan bagi pendapatnya bahwa roh tidak dapat mati, dan didalam Apologi, ia hanya mengatakan betapa indahnya jika demikian adanya. Hidup ( dan mati ) demi roh seseorang murni berkaitan dengan karakter dan integritas prinadi, bukan dengan harapan – harapan akan ganjarannya dimasa depan. Perhatian Socrates murni etis, tanpa suatu gambaran akan intrik kosmologi yang telah mempesona para pendahulunya.
Socrates diakhir – akhir hidupnya banyak memperkatakan tentang akhirat dan hidup yang abadi kelak dibelakang hari. Dia mempercayai adanya akhirat, dan hidup yang abadi dibelakang hari itu, begitu juga tentang kekalnya roh. Socrates berpendapat bahwa roh itu telah ada sebelum manusia, dalam keadaan yang tidak kita ketahui. Kendatipun roh itu telah bertali dengan tubuh manusia, tetapi diwaktu manusia itu mati, roh itu kembali kepada asalnya semula. Diwaktu orang berkata kepada Socrates, bahwa raja bermaksud akan membunuhnya. Dia menjawab : “ Socrates adalah didalam kendi, raja hanya bisa memecahkan kendi. Kendi pecah, tetapi air akan kembali ke dalam laut ”. Maksudnya, yang hancur luluh hanyalah tubuh, sedang jiwa adalah kekal ( abadi ).
Sedangkan tentang mengenal diri Socrates menjadikan pedoman seperti pada pepatah yang berbunyi : “kenalilah dirimu dengan dirimu sendiri” (Gnothisauton). Pepatah ini dijadikan oleh Socrates jadi pokok filsafatnya. Socrates berkata : manusia hendaknya mengenaldiri dengan dirinya sendiri, jangan membahas yang diluar diri, hanya kembalilah kepada diri. Manusia selama ini mencari pengetahuan diluar diri. Kadang – kadang dicarinya pengetahuan itu didalam bumi, kadang – kadang diatas langit, kadang – kadang didalam air, kadang – kadang diudara. Alangkah baiknya kalau kita mencari pengetahuan itu pada diri sendiri. Dia memang tidak mengetahui dirinya, maka seharusnya dirinya itulah yang lebih dahulu dipelajarinya, nanti kalau dia telah selesai dari mempelajari dirinya, barulah dia berkisar mempelajari yang lain. Dan dia tidak akan selesai selama – lamanya dari mempelajari dirinya. Karena pada dirinya itu akan didapatnya segala sesuatu, dalam dirinya itu tersimpul alam yang luas ini.[6]
C.    Metode Sokrates
Ajaran sokrates dipusatkan kepada manusia. Ia mencari pengetahuan kepada manusia. Ia mencari pengetahuan yyang murni dan sebenarnya. Pengetahuan sejati. Adapun caranya ialah dengan mengamat-amati yang konkrit dan bermacam-macam, kemudian dihilangi yang berbeda dan munculnya yang sama, maka timbullah pengertian yayng sejati itu.[7]
Bagaimana Socrates mengetahui adanya kebenaran yang tidak subyektif itu? Menurut sokrates, metode yang dijalankan olehnya bukanlah penyelidikan atas fakta-fakta melainkan analisis atas pendapat-pendapat atau pernyataan-pernyataan yang diucapkan oleh orang atau oleh negarawan. Ia selalu bertanya tentang apa yang diucapkan oleh orang atau oleh negarawan. Jika meraka atau para negarawan bicara tentang keberanian, ia bertanya apa yang dimaksud dengan berani, pemberani dan pengecut? Dan seterusnya. Metodenya ini disebut dialektika, yakni “bercakap-cakap” atau berdialog. Socrates sendiri membandingkan metodenya ini dengan metode seorang bidan dalam membantu persalinan. Bidan memiliki keahlian dalam membantu persalinan, sehingga melalui bantuannya lahirlah ke dunia bayi – bayi sehat dari rahim para ibu. Socrates bertindak seperti bidan. Namun, yang dilahirkan bukan bayi, melainkan ide-ide yang dimiliki oleh orang-orang yang dibidaninya. Ia mengaku tidak menyampaikan pengetahuan, melainkan dengan pertanyaan-pertanyaannya ia membidani pengetahuan yang terdapat dalam jiwa orang lain agar keluar dalam bentuk ide-ide.[8]
 Dengan cara bekerja yang demikian itu Socrates menemukan suatu cara berpikir yang disebut “induksi”, yaitu menyimpulkan pengetahuan yang sifatnya umum dengan berpangkal dari banyak pengetahuan tentang hal yang khusus. Induksi disini berlainan artinya dari induksi sekarang.
·       Induksi sekarang penyelidikan dimulai dengan memperhatikan yang satu-satunya dan dari situ dengan mengumpulkan dibentuk pengertian yang umum lakunya.
·       Induksi sicrates : memperbandingkan secara kritis yang dicapai dengan contoh persamaan dan diuji pula dengan saksi-saksi lawan saksi.[9]
Socrates menggunakan istilah induksi manakala pemikiran bertolak dari pengetahuan yang khusus, lalu menyimpulkan dengan pengertian yang umum.[10]
Sumbangsih Socrates yang terpenting bagi pemikiran Barat adalah metode penyelidikannya, yang dikenal sebagai metode elenchos, yang banyak diterapkan untuk menguji konsep moral yang pokok. Karena itu, Socrates dikenal sebagai bapak dan sumber etika atau filsafat moral, dan juga filsafat secara umum.[11]
D.    Etik Sokrates
Filsafat sokrates banyak membahas masalah-masalah etika. Ia beranggapan bahwa yang paling utama dalam kehidupan bukanlah kekayaan atau kehormatan, melainkan kesehatan jiwa. Prasyarat utama dalam hidup manusia adalah jiwa yang sehat. Jiwa manusia harus sehat terlebih dulu agar tujuan-tujuan hidup yang lainnya dapat diraih. Tujuan hidup yang paling utama adalah kebahagiaan (eudaimonia). Namun, kebahagiaan dalam bahasa Yunani bukan dalam arti seperti sekarang, yakni mencari kesenangan. Kebahagiaan dalam bahasa yunani berarti kesempurnaan (Bertens,1975). Eudaimonia merupakan tujuan utama kehidupan. Jalan atau cara untuk mencapai kebahagiaan adalah arête (kebijakan). Orang yang bijak adalah orang yang mampu hidup bahagia.[12] Akan tetapi kebajikan atau keutamaan disini tidak diartikan secara moral, melainkan secara yang lebih luas daripada itu. Kebajikan atau keutamaan seorang tukang sepatu itu menjadi tukang sepatu yang baik, karena tahu pekerjaannya dengan baik, mempunyai keahlian dalam bidangnya itu. Pendirian sokrates yang terkenal adalah: “keutamaan adalah pengetahuan”. [13]
E.    Murid – murid Sokrates
Diantara murid-murid Socrates ada tiga orang yang mengaku meneruskan pelajarannya yaitu Euklides, Antisthenes dan Arisrippos. Sungguhpun ketiga murid tersebut mendirikan sekolah Socrates sebagai tanda cintanya kepada gurunya. Murid Socrates yang sebenarnya ialah Plato.[14]
1)     Euklides
Mengajarkan filosofinya di kota Megara, sebelum belajar pada Sokrates, ia telah mempelajari filosofi, elea, terutama ajaran perminedes yang mengatakan bahwa yang ada itu ada, satu tidak berubah.[15]
Perubahan ini disatukannya dengan etik sokrates, lalu di “yang satu itu baik”. Hanya orang sering menyebut yang satu itu dengan berbagai nama Tuhan, akal dan lainnya. Cara Euklides mempertahankan pendapatnya banyak sekali menyerupai dalil-dalil yang dikemukakan oleh zeno, dari filosof alea.
2)     Antisthemes
Semula ia adalah murid dari guru sofis Gorgias kemudian menjadi pengikut sokrates. Sesudah sokrates meninggal, ia membuka sekolah filosofi di Athena dan diberi nama Gymnasium Kynosarges. Sebab itu ajarannya sering disebut filosof dari madzhab kynia.
Menurut Antisthemes Budi adalah satu-satunya yang baik di luar itu tidak perlu kesenangan hidup mencari kesenangan sebagai tujuan adalah perbuatan yang salah, budi adalah rasa yang cukup. Budi hanya satu dan dapat dipelajari siapa yang punya budi, tak perlu mempunyai kepintaran atau ilmu selain daripada pandai menguasai dari cara sokrates.
Dalam dua hal Antisthemes menyimpang dari sokrates :
a.      Ia memungut uang sekolah
Bagi sokrates pantang menerima bayaran, karena memungut uang sekolah adalah kebiasaan guru-guru sofis.
b.     Tentang pengertian, pendapatnya berlainan dari ajaran sokrates
Diantara murid Antisthemes yang terkenal adalah Diogenes dan Sinopes, terkenal karena hidupnya yang sangat sederhana corak hidup yang umum didapati pada masanya selalu ditentang olehnya.
3)     Aristippos
Mengajarkan filosofisnya di kyrena sebelumnya ia belajar pada guru-guru sofis dan kemudian menjadi murid sokrates. Ia sangat jauh menyimpang dari sokrates, menurut pandangannya kesenangan hidup harus menjadi tujuan, sebab itu ajarannya disebut hedonism. Hanya kesenangan hidup itu harus dicapai dengan pertimbangan yang tepat, akal harus dipakai untuk menggunakan kesempatan yang ada.
4)     Plato
Kekecewaan karena tidak berhasil menjadi juara di ajang olahraga tinggi membuat plato banting setir. Ia mulai belajar kesusastraan, juga pengetahuan-pengetahuan yang pada saat itu berkembang. Pada saat yang sama ada seorang yang tua dan jelek bernama sokrates, yang kemudian menjadi gurunya.
Plato sudah sering mendengar cerita tentang sokrates dari orang-orang. Sosok itu sering berdialog dengan pemuda-pemuda di pasar. Pada suatu hari, platopun menyudahi kepenasarannya dan mulai ikut terlibat diskusi dengan pemuda-pemuda lain dan dengan sang guru.[16]
  III.          PENUTUP
Sokrates lahir di Athena tahun 470 sM. Cara pengajaran sokrates pada umumnya disebut dialektika karena di dalam pengajaran itu dialog memegang peran penting. Sebutan yang lain adalah mateutika (seni kebidanan) karena dengan cara ini Socrates bertindak seperti seorang bidan yang menolong kelahiran bayi “pengertian yang benar”. Dengan cara bekerja yang demikian itu sokrates menemukan suatu cara berpikir yang disebut “induksi”, yaitu menyimpulkan pengetahuan yang sifatnya umum dengan berpangkal dari banyak pengetahuan tentang hal yang khusus.
Kemudian sokrates dijatuhi hukuman mati karena sokrates mengatakan kebenaran umum itu memang ada dan plato memperkokoh pendapatnya. Sokrates itu ada dan pada waktu itu sokrates berumur 70 tahun, sekalipun sokrates mati, ajarannya tersebut justru berkembang dengan cepat karena kematiannya itu orang mulai mempercayai adanya kebenaran umum.


  IV.          DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Zainal. 2011. Pengantar Filsafat Barat. Jakarta : Rajawali
Hadiwijono, Harun.1980. Sari Sejarah Filsafat Barat I. Yogyakarta : Kanisius
Hartono, Dick. 1995. KAMUS POPULER FILSAFAT Cet-2. Jakarta : Raja Grafindo Persada
Hatta, Mohammad 1986. Alam Pikiran Yunani cet.3. Jakarta : UI-Press-Tintamas
Poedjawijatna. 1974. Pembimbing ke Arah Filsafat. Jakarta : Pustaka Sarjanam
Syadal, Ahmad dan Mudzakir. 1997. Filsafat Umum, Jakarta : Pustaka Setia
http://www.anneahira.com/biografi-plato.htm


[1] Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani cet.3, Jakarta : UI-Press-Tintamas, 1986, hal : 72
[2] Ibid… hal : 73
[3] Ibid… hal : 74
[4] Dick hartono, KAMUS POPULER FILSAFAT Cet-2, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995, hal:102
[5] http://id.wikipedia.org.wiki.Socrates
[7] Poedjawijatna, Pembimbing ke Arah Filsafat, Jakarta : Pustaka Sarjanam 1974
[8] Zainal Abidin, Pengantar Filsafat Barat, Jakarta : Rajawali, 2011. Hal : 100
[9] Mohammad Hatta, Op.Cit.., hal:81
[10] Ahmad Syadal dan Mudzakir, Filsafat Umum, Jakarta : Pustaka Setia, 1997, hal : 68
[11]  http://id.wikipedia.org.wiki.Socrates
[12] Zainal Abidin, OP.Cit…, hal : 101
[13] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat I, Yogyakarta : Kanisius, 1980, hal: 37
[14] http://dakir.wordpress.com/2009/03/21/filsafat-socrates/
[15] Mohammad Hatta, Op.Cit…, hal : 85
[16] http://www.anneahira.com/biografi-plato.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar